ASSALAMU'ALAIKUM Wr.Wb

Jumat, 16 Juni 2017

Service Level Agreement (SLA) dan operational-level agreement (OLA)

SLA dan OLA


v  SLA (Service Level Agreement)

Service-level agreement (SLA) adalah komitmen resmi yang berlaku antara penyedia layanan dan klien. Aspek khusus dari kualitas layanan, ketersediaan, tanggung jawab - disepakati antara penyedia layanan dan pengguna layanan. Komponen SLA yang paling umum adalah layanan harus diberikan kepada pelanggan sebagaimana disepakati dalam kontrak. Sebagai contoh, penyedia layanan Internet dan telkom biasanya menyertakan perjanjian tingkat layanan sesuai persyaratan kontrak mereka dengan pelanggan untuk menentukan tingkat layanan yang dijual dalam bahasa sederhana.

v  Service-level agreement (SLA) terdiri dari beberapa level yaitu :

§  SLA berbasis pelanggan: Kesepakatan dengan kelompok pelanggan individual, yang mencakup semua layanan yang mereka gunakan. Misalnya, SLA antara pemasok (IT service provider) dan departemen keuangan dari sebuah organisasi besar untuk layanan seperti sistem keuangan, sistem penggajian, sistem penagihan, sistem pengadaan / pembelian, dll.

§  SLA berbasis layanan: Kesepakatan untuk semua pelanggan yang menggunakan layanan yang dikirimkan oleh penyedia layanan. Sebagai contoh:
1.    Penyedia layanan bergerak menawarkan layanan rutin kepada semua pelanggan dan menawarkan perawatan tertentu sebagai bagian dari penawaran dengan pengisian universal.
2.   Sistem email untuk keseluruhan organisasi. Ada kemungkinan kesulitan yang timbul pada jenis SLA ini karena tingkat layanan yang ditawarkan dapat bervariasi untuk pelanggan yang berbeda (misalnya, staf kantor pusat mungkin menggunakan koneksi LAN berkecepatan tinggi sementara kantor lokal mungkin harus menggunakan jalur leased line yang lebih rendah) .

§  SLA multilevel: SLA dibagi ke dalam tingkat yang berbeda, masing-masing menangani beragam pelanggan untuk layanan yang sama, dalam SLA yang sama.
1.       SLA tingkat perusahaan: Meliputi semua manajemen tingkat layanan generik (sering disingkat SLM) yang sesuai untuk setiap pelanggan di seluruh organisasi. Isu-isu ini cenderung kurang stabil dan pembaruan (review SLA) kurang sering dibutuhkan.
2.       SLA tingkat pelanggan: mencakup semua masalah SLM yang relevan dengan kelompok pelanggan tertentu, terlepas dari layanan yang digunakan.
3.       SLA tingkat layanan: mencakup semua masalah SLM yang relevan dengan layanan spesifik, sehubungan dengan kelompok pelanggan khusus ini.

v  Service-level agreement dapat berisi banyak metrik kinerja layanan dengan sasaran tingkat layanan yang sesuai. Kasus umum dalam manajemen layanan TI adalah call center atau service desk. Metrik yang biasanya disepakati dalam kasus ini meliputi:

ü  Abandonment Rate: Persentase panggilan yang ditinggalkan sambil menunggu untuk dijawab.

ü  ASA (Average Speed to Answer): Waktu rata-rata (biasanya dalam hitungan detik) dibutuhkan panggilan yang harus dijawab oleh meja layanan.

ü  TSF (Time Service Factor): Persentase panggilan yang dijawab dalam jangka waktu yang pasti, misalnya 80% dalam 20 detik.

ü  FCR (First-Call Resolution): Persentase panggilan masuk yang dapat dipecahkan tanpa penggunaan panggilan balik atau tanpa pemanggil memanggil kembali helpdesk untuk menyelesaikan penyelesaian kasus ini.

ü  TAT (Turn-Around Time): Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas tertentu.

ü  MTTR (Mean Time To Recover): Waktu yang dibutuhkan untuk pulih setelah outage of service.Uptime juga merupakan metrik umum, sering digunakan untuk layanan data seperti shared hosting, virtual private servers dan dedicated server. Kesepakatan umum mencakup persentase uptime jaringan, power uptime, jumlah jendela pemeliharaan terjadwal, dll.Banyak jalur SLAs untuk spesifikasi Infrastruktur Infrastruktur Teknologi Informasi saat diterapkan pada layanan TI.




 Mengapa diperlukan SLA?

Dari definisi SLA di atas, terdapat dua pihak yang berkepentingan, yaitu pihak penyedia (supplier) dan pihak pelanggan (costumer). Tentunya keduanya memiliki harapan masing-masing yang bisa saja berbeda. Harapan pelanggan menginginkan produk/layanan tersedia dengan cepat, namun dari pihak penyedia memerlukan waktu proses untuk menyediakan produk/layanan yang dibutuhkan tersebut. Perbedaan harapan inilah yang perlu dikomunikasikan agar tidak terjadi konflik.
Di sinilah diperlukan SLA untuk menjembatani perbedaan harapan, mendefinisikan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pihak sekaligus menjadi alat ukur efektifitas penyediaan produk/layanan oleh supplier.




v  OLA (operational-level agreement)

operational-level agreement (OLA) mendefinisikan hubungan saling tergantung dalam mendukung Service-level agreement (SLA). Kesepakatan tersebut menggambarkan tanggung jawab masing-masing kelompok pendukung internal terhadap kelompok pendukung lainnya, termasuk proses dan kerangka waktu untuk penyampaian layanan mereka. Tujuan OLA adalah untuk menyajikan deskripsi dukungan internal dari penyedia layanan yang jelas, ringkas dan terukur.

OLA kadang diperluas ke frase lain tapi semuanya memiliki arti yang sama:
·         organisational-level agreement
·         operating-level agreement
·         operations-level agreement


v  PERBEDAAN SLA DAN OLA
1. Service Level Agreement berfokus pada bagian layanan dari perjanjian, seperti uptime layanan dan kinerja. Di sisi lain, Perjanjian Tingkat Operasional adalah kesepakatan sehubungan dengan pemeliharaan dan layanan lainnya.
2. Service Level Agreement pada dasarnya adalah kontrak antara penyedia layanan dan pelanggan. OLA adalah kesepakatan antara kelompok pendukung internal sebuah institusi yang mendukung
SLA.
3. Saat membandingkan kelompok sasaran, OLA memiliki kelompok sasaran lebih kecil daripada SLA.
4. Berbeda dengan OLA, SLA menghubungkan penyedia layanan ke pelanggan.
5. Perjanjian Tingkat Operasional lebih bersifat teknis daripada Service Level Agreement.


CONTOH KASUS :

sebuah perusahaan layanan internet Indihome memberikan SLA 98%, artinya Provider menjamin 98% internet berjalan dengan baik, dan 2% gangguan yang terjadi dianggap wajar apabila terjadi internet terputus, layanan ini terhitung dalam kurun waktu satu bulan.
Dalam 1 hari = 24 jam dan 1 bulan = 30 hari, kewajiban yang harus dibayar pelanggan misalnya Rp 2.000.000   
1 bulan = 30 hari x 24 jam 720 jam (Jumlah 720 jam adalah jumlah layanan 100%)
Jika SLA 98% maka 98% x 720 jam = 705,6 jam (Jumlah 705,6 jam adalah waktu yang dijamin oleh Provider internet berjalan dengan baik, sedangkan sisanya 14,4 jam apabila terjadi gangguan atau internet terputus masih dianggap wajar).
Apabila dalam kurun waktu satu bulan terjadi internet down selama 10 jam, maka SLA yang dijanjikan berarti terpenuhi, tetapi apabila internet terputus selama 50 jam dalam satu bulan, berarti sudah melebih dari 14,4 jam yang dianggap wajar.
Biasanya apabila SLA yang telah disepakati tidak terpenuhi, maka pelanggan mendapat pengurangan biaya yang dibebankan, cara menghitungnya sebagai berikut:
Misalkan Internet terputus selama 50 jam / 720 jam = 0,14 x 100 = 14%
Biaya bulanan internet = Rp 2.000.000 / 98 = Rp. 20.408
Rp.20.408 x 14  = Rp. 428.571 (Jumlah yang harus dikembalikan kepada pelanggan)
Jadi Rp. 2.000.000 – Rp. 428.571  = Rp. 1.571.429 (Jumlah yang dibayar oleh pelanggan)


KESIMPULAN KASUS :
Dengan adanya solusi kasus yang di atas, maka pelanggan dapat memahami hak layanan yang harus diterima, dan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi tingkat layanan yang telah disepakati. Terkadang jumlah pengembalian yang diberikan tidak sebanding dengan kerugian pelanggan dari matinya internet, oleh karena itu pihak provider diharapkan dapat memenuhi setidaknya dari jumlah SLA yang dijanjikan.





DAFTAR PUSTAKA







Rezica Arighi Sutardi
15115856
           
Tugas Softskill :
Bp. Nugraha sulaeman

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More